Kau bagai mentari ku,
saat
dunia ku penuh dengan kegelapan
Kau
menyinari diriku,
dari
celah-celah pintu hidupku
Saat
ku buka pintu itu,
cahayamu
tidak hanya menyinari ruang hidupku
tapi
juga menyinari jiwa ragaku
Lalu
ku kejar cahaya itu
Dan
ternyata itu adalah KAMU ..
Sudah
hampir puluhan kali, ia membacanya. Selembar kertas usang berisikan rangkaian
kalimat indah, tertulis begitu rapi dengan warna tinta yang hampir memudar.
Benda itu mampu menariknya kembali pada masa lalu yang membuatnya selalu merasa
bersalah. Peristiwa itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Bagaimana tidak,
karenanya ia menjadi seperti ini sekarang dan melukai hati seseorang yang tulus
mencintai dirinya. Kenapa baru sekarang
aku menyesalinya? kenapa begitu mudah aku melepasmu dulu? dan kenapa harus ada
dia? Sepanjang hidupnya hanya dipenuhi dengan penyesalan, penyesalan dan
penyesalan.
Tata
segera mengusap air matanya, ketika mendengar suara ketokan pintu dari luar kamarnya.
“Siapa?“ ditunggunya jawaban dari balik pintu sebelum ia benar-benar
membukanya. “Kiki nih, Ta“ Ia mengernyit, alasan apa yang membuat Kiki datang
ke rumahnya selarut ini tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Biasanya Kiki
selalu mengirim blackberry messanger, menelpon ataupun SMS jika ia akan datang.
Untung saja, hari ini Tata sedang ingin tinggal di rumah dan tidur di kamar kesayangannya,
biasanya ia lebih suka bersantai di kontrakan kecilnya.
Sejak
masuk Universitas, Tata memutuskan untuk tinggal di kontrakan kecil dengan dua
kamar di daerah Malang. Kalau ditanya alasannya, ia selalu menjawab biar dekat
dengan kampus dan nggak habisin banyak ongkos. Tentu saja alasan ini tidak
dapat diterima oleh Kiki, pasalnya dia satu-satunya orang yang mengerti kenapa
Tata ingin memisahkan diri dari tempurung keluarganya.
“Kok
lo tahu kalau gue lagi di rumah?” tanya Tata sembari membuka pintu kamarnya dan
menyuruh Kiki masuk. “Tata, kalau sejam yang lalu lo nggak pasang status BBM lagi betah di rumah dan ingin berlama-lama
mungkin sekarang gue udah mati bosan nungguin lo di depan kontrakan” seru Kiki yang
sudah menghempaskan tubuhnya dikasur.
“Malam
ini gue nginep di sini ya, Ta. Bokap sama nyokap mendadak ke Surabaya jenguk
nenek gue”, Kiki menjelaskan perihal kedatangannya. “Nenek lo kenapa Ki? Sakit
lagi ya?” tanya Tata kemudian. “Iya. Tadi sore tante gue telepon, katanya nenek
masuk rumah sakit lagi. Tekanan darahnya naik dan harus dirawat”. Tata hanya
diam dan tidak menanyakan apa-apa lagi pada sahabatnya itu, ia tahu benar
kondisi keluarga Kiki yang sudah ia anggap seperti keluarga. Kiki yang tadinya
sudah memejamkan mata, tiba-tiba saja bangun dari tidurnya. Memandang Tata
lekat, melihat keanehan diraut wajah sahabatnya itu yang sedari tadi sudah ia
rasakan.
“Lo
habis nangis ya, Ta?”, alih-alih menjawab, orang yang ditanya malah tambah
bengong. “Paramitha Diandra, gue lagi ngomong sama lo. Cepet sadar gih dari
lamunan lo yang mungkin nyakitin itu”, sejurus kemudian Tata tersadar dari
lamunannya dan menghampiri Kiki sambil menghamburkan bantal ke arahnya.
“Apaan
sih, Ki!” Tata berusaha menyembunyikan kegundahannya, tapi mana mungkin. Kiki
selalu tahu semua hal tentang dirinya. “Jangan coba-coba menyembunyikan apapun
dari gue, karena lo nggak akan pernah bisa”, Kiki menatap Tata tajam, berharap
sahabatnya itu tidak lupa bahwa dia tidak sendirian.
“Seminggu
lagi gue akan diwisuda, itu artinya dalam waktu cepat gue akan tinggalin semua
yang ada di sini” Tata merasakan wajahnya memanas, derai air mata yang tadi sempat
ia tahan perlahan kembali menetes menyusuri pipinya yang lembut. Kiki memeluk
erat sahabatnya itu, seolah mengerti semua yang menjadi beban hatinya, memahami
sakit yang dirasakannya selama bertahun-tahun ini, terlebih dalam waktu singkat
ia juga akan kehilangan sahabat terbaik yang pernah ia miliki.
“Gue
ngerti Ta, lo harus kuat, lo harus sabar. Sebenarnya yang bikin lo berat buat
pergi bukan gue ataupun nyokap sama bokap lo, tapi Dimas. Jangan lo pikir
karena gue diam, berarti gue nggak tahu apa-apa. Gue tahu semuanya Ta, gue
tahu”. Kiki mencoba menenangkan Tata, dalam hatinya ia berjanji akan membawa
Dimas kembali padanya.
***
Matahari
terik, tepat berada di ubun. Arloji yang melingkar di tangannya menunjukkan
pukul 12, ia berjalan seorang diri menyusuri trotoar. Tidak seperti tadi pagi,
kali ini wajahnya terlihat sangat lelah dan langkahnya mulai melemah. Ujian
demi ujian beberapa hari ini cukup menguras banyak tenaga, mau tidak mau ia harus
terkonsentrasi penuh pada semua mata pelajaran pokok. Tiga bulan lagi ia akan
menempuh Ujian Nasional dan melepas masa putih abu-abunya yang penuh kenangan,
merancang masa depan dengan berbagai rintangan yang siap menghadang. Jalan setapak
yang ia lewati terasa begitu panjang, padahal jaraknya untuk sampai di rumah
hanya beberapa meter saja.
Tata
merasakan getaran yang berasal dari sakunya, ia bermaksud untuk membiarkannya
dan akan memeriksa kemudian setelah sampai di rumah. Namun getaran yang
bersumber dari handphone-nya tidak
berhenti, dengan enggan ia merogoh handphone
dari sakunya dan mendapati nama Dimas terpampang di layarnya. Ketika ia hendak
memencet tombol hijau, Dimas sudah memutuskan panggilannya. Tata memasukkan
kembali handphonen-nya ke dalam saku
dan mempercepat langkah untuk segera tiba di rumah, kemudian ia akan
menghubungi kekasihnya itu.
“Halo,
Dim? Ada apa?” Tata membuka percakapan ketika seseorang di sebarang sana
mengangkat teleponnya.
“Kamu
kemana aja sih Ta? Dari tadi aku telepon nggak diangkat? Kamu pulang sama
siapa? Aku khawatir tahu nggak sama kamu?” suara Dimas terdengar cemas namun
penuh emosi.
“Iya,
iya. Maaf. Aku tadi lagi di jalan, handphone
aku masih ke-silent jadi nggak tahu
kalau kamu telepon”, Tata berusaha menghindari pertengkaran yang mungkin akan
terjadi, ia terpaksa berbohong kepada Dimas.
Setelah
beberapa menit, Dimas mengakhiri percakapan itu dan kemudian Tata menghempaskan
tubuh di atas kasurnya yang empuk. Matanya terpejam sambil memikirkan
hubungannya dengan Dimas yang akhir-akhir ini mulai terlihat rapuh. Sudah
setahun lalu mereka menjalin kasih, keduanya saling mencintai dan menjaga satu
sama lain. Namun akhir-akhir ini Dimas menjadi terlalu over protectif, itu semua
membuat Tata jenuh dan merasa terkekang. Di
saat seperti ini harusnya kita saling mendukung, bukan malah saling membebani.
Pikirnya dalam hati. Sesaat kemudian ia hanyut ke dalam pikirannya dan matanya
mulai terlelap.
@@@
“Ta, kantin
yuk!” ajak Kiki yang sudah berdiri di sebelahnya sambil memegangi perutnya yang
sudah meronta. “Duluan deh, gue masih mau ngumpulin ini dulu ke Pak Sapto”,
jawab Tata yang masih menyelesaikan tugasnya tanpa menoleh ke arah Kiki. “Gue
tunggu di kantin ya”, seru Kiki kemudian sambil berlalu. Tata masih tetap
menulis ketika Raka, teman sekelasnya, tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
“Belum selesai
Ta?”, Tata yang tak menyadari kehadiran Raka langsung mendongok.
“Eh, elo Ka. Iya
nih, tinggal satu nomor”, jawabnya yang langsung kembali memusatkan perhatian
pada buku yang ada di hadapannya. Raka tetap berada di sana, sambil diam-diam
memperhatikan wajah cantik Tata yang mempesona. Rambutnya yang panjang
tergerai, bulu mata lentik dan kulitnya yang mulus. Cowok mana pun pasti akan
terkagum-kagum melihatnya.
Raka. Sudah
hampir sebulan ini mereka berdua menjadi dekat. Entah bagaimana awal hubungan
kedekatan itu, semuanya mengalir begitu saja tanpa rencana. Tata merasa nyaman
berteman dengannya, mereka berdua memiliki banyak kesamaan, dari genre musik
yang mereka suka, film-film action maupun buku-buku karya penulis terkenal.
Raka selalu bisa membuatnya tersenyum, menghibur dia di saat seperti apapun dan
mampu mendamaikan hatinya. Bersama Raka, dia bebas melakukan banyak hal dan
entah sejak kapan, rasa itu mulai tumbuh dengan sendirinya.
@@@
“Gue putus sama
Dimas!”
“Lo serius?
Kenapa? Dimas itu sayang banget sama lo, Ta.”
“Ki, lo tahu
sendiri kan akhir-akhir ini gue sering banget berantem sama Dimas. Gue capek
Ki, capek!”
“Apa udah nggak
bisa diomongin lagi?”, yang ditanya hanya diam. “Jadi akhirnya lo lebih memilih
Raka?” Tata mengalihkan pandangannya.
“Ta, gue tahu lo
udah dewasa. Apapun keputusan yang lo ambil, pasti lo udah mikirin semuanya
baik-baik. Sebagai sahabat lo, gue hanya berharap yang terbaik buat lo dan Dimas.
Satu lagi, semoga pilihan lo kali ini nggak salah dan nggak akan buat lo nyesel
nantinya”, Kiki menepuk pelan pundak Tata dan tersenyum tipis, kemudian ia
berlalu meninggalkan Tata. Sendirian.
@@@
“Ki!”, cowok itu
mempercepat jalannya dan segera menghampiri Kiki yang tengah asik melahap
makanannnya. Meskipun tak menoleh ke arah sumber suara, Kiki sudah hafal suara
itu. Di sekolah ini, satu-satunya cowok yang memiliki suara yang khas,
serak-serak basah, seperti itu hanyalah Dimas. Ia kemudian mendongokkan
kepalanya ke arah Dimas dan memperhatikan wajahnya yang terlihat sangat muram. Kasihan lo Dim, ketulusan lo harus dibayar
dengan cara seperti ini. Pikirnya dalam hati. “Lo nggak makan?”, tanya Kiki
memecah keheningan. “Nggak laper gue”, jawabnya tanpa basa-basi.
Tiba-tiba saja,
Dimas merasa geram dan kesal. Kiki membalikkan badan dan ikut menoleh ke arah
yang Dimas tuju. Benar saja, ia melihat Tata dan Raka berjalan bersama saling
menautkan jemari mereka.
“Jadi itu
alasannya?” Dimas mulai emosi.
“Gue nggak nyangka,
ternyata segampang ini gue dibodohin sama cewek!” Ia kemudian pergi
meninggalkan Kiki yang masih shock
dengan peristiwa beberapa menit yang lalu. Kiki menoleh lagi ke arah dua
pasangan baru itu, ketika matanya dan mata Tata bertemu ia hanya menggelengkan
kepala dan kemudian pergi mengikuti Dimas yang sedang diselimuti kekecewaan. Ia
tak menyangka dan tentunya merasa kecewa juga dengan apa yang sudah Kiki
lakukan di hadapan orang yang sangat mencintai dirinya, lebih dari apapun.
@@@
Tata sedang
berjalan-jalan ke Toko Buku langganannya, ketika ia kemudian melihat motor Raka
terparkir di area alun-alun Kota Batu. Matanya kemudian mencari-cari sosok yang
sangat ia rindukan, karena sudah hampir seminggu ini mereka tidak bertemu.
Ujian Nasional dua minggu yang lalu cukup menyibukkan mereka.
Senyum Tata
langsung mengembang ketika ia menemukan sosok yang ia cari sedari tadi, ia
cukup hafal dengan perawakannya meski Raka membelakanginya sekarang.
Cepat-cepat ia berjalan menuju ke arah Raka. Namun ketika jarak antara mereka
hanya dipisahkan beberapa meter saja, langkah Tata langsung terhenti. Ia
menemukan Raka sedang bermesraan dengan cewek yang entah siapa dia, tangan
mereka saling bertautan, persis seperti apa yang biasa ia lakukan. PLAAKK!!
“Ta, aku bisa
jelesin ini”, Raka berusaha memegang tangan Tata dan memeluknya, namun Tata
menepisnya dan mendorong jauh-jauh tubuh Raka dari hadapannya.
“Kita PUTUS!”
Tata berlalu pergi tanpa menghiraukan Raka yang memanggil-manggil namanya,
hatinya sakit namun air matanya tak menetes. Beginikah rasanya, dikhianati orang yang sangat kita cintai? Karmakah
ini? Kejadian itu terus berputar-putar dalam ingatannya, seolah ia tak mau
berhenti dan mengejek kebodohannya karena telah memilih orang yang salah.
Sesaat terlintas wajah Dimas dalam benaknya dan ia mulai menangis tersedu,
menyesali semuanya.
@@@
“Di...Dimas”,
suara Tata bergetar.
Dimas menoleh,
tatapan matanya berubah sinis ketika ia tahu siapa yang memanggilnya. “Ada
apa?”, jawabnya dingin. “Ma..maafin..gue ya, Dim, gu..e”, belum tuntas apa yang
akan ia katakan, Dimas memotong kalimatnya dan berlalu. “Nggak ada yang perlu
dimaafin, gue malah mau berterima kasih sama lo karena udah sadarin gue dari
mimpi yang fana”, Tata tertegun dan ia hanya bisa pasrah, menerima perlakuan
Dimas yang memang pantas ia dapatkan.
“Cuma waktu Ta,
dia cuma butuh waktu. Sekarang ini cinta kalian sedang diuji. Suatu saat nanti,
gue percaya cinta kalian akan kembali menyatu. Karena dari awal, Dimas adalah
pelabuhan terakhir dalam pelayaran lo”, Tata tersenyum dan memeluk erat Kiki
yang berada di sampingnya. “Lo emang sahabat terbaik gue Ki, thanks ya.”
***
Tata mendorong
koper miliknya diiringi dengan langkah yang berat. Tepat hari ini, ia akan
meninggalkan semua kenangan yang sudah terukir dengan indah. Meski hanya untuk
sementara, ia pasti akan sangat merindukan tanah kelahirannya, merindukan papa,
mama, kakak dan juga sahabatnya.
Sepanjang
perjalanan, ia hanya diam. Pikirannya melayang jauh, menyusuri setiap kenangan
yang tercipta bersama Dimas. Cowok itu, mungkin sekarang dia sudah menjadi pria
dewasa yang tampan. Menjalani kehidupan yang normal, menjadi lulusan arsitek
seperti yang dia impikan. Tata ingat, dulu Dimas sering sekali memperlihatkan
padanya hasil-hasil sketsa yang ia buat. Menghabiskan waktu berdua, meski hanya
sekedar membicarakan hobi dan cita-cita masing-masing. Tapi entah mengapa, Tata
sangat merindukan hari-hari itu.
Dimas juga
pernah membuat sketsa rumah yang sangat ia impikan, “Rumah ini kelak akan lebih
indah dan terasa hangat. Karena di dalamnya akan ada aku, kamu dan juga
anak-anak kita.” Tata bahagia setiap kali Dimas mengucapkan kalimat itu. Namun
kini semua telah berbeda, ia merasa telah menghancurkan satu lagi mimpi
besarnya. Tidak, bukan hanya satu tapi ia telah menghancurkan semuanya.
“Ta, kalau sudah
sampai jangan lupa telepon rumah ya. Jaga diri kamu, kejar cita-cita kamu nak.
Kami akan sangat merindukanmu”, air mata Tata mengalir tanpa dipandu, ia
langsung memeluk kedua orangtuanya itu dengan hangat.
“Ta, ikut gue
sebentar yuk.” Tanpa menunggu jawaban, Kiki langsung menarik tangan Tata dan
membawanya sedikit menjauh. Tata pun hanya bisa pasrah.
Sesaat kemudian
langkahnya terhenti, ia melepaskan tangannya dari genggaman Kiki. Tata ingin
berlari, entah untuk memeluknya atau malah berlari untuk meninggalkannya lagi. Dimas
ada di sana, di ruang yang sama, di hadapannya. “Sebelum lo pergi, jemput cinta
lo yang lama hilang. Dia di sana Ta, menunggu lo kembali.” Kiki berbisik lirih
dan memeluk Tata yang masih termangu kemudian memberikan ruang pada mereka
untuk menumpahkan segalanya.
“Mau ke mana?”
Dimas terlihat canggung. “Paris, seperti yang pernah gue bilang sama lo.” Tata
tak kalah canggungnya dengan Dimas. “Akhirnya mimpi lo buat sekolah di Paris
dan menjadi designer hebat tercapai juga Ta, selamat ya”, Dimas bingung harus
berkata apa lagi. Ingin rasanya ia menarik tubuh mungil itu ke dalam
pelukannya, mendekapnya hangat dan dalam, namun ia tak kuasa.
“Dim...maaf...”
persis seperti beberapa tahun yang lalu, lagi-lagi Dimas memotong kalimat Tata.
“Aku nggak akan
maafin kamu, Ta”, sesaat Dimas terdiam, melihat Tata yang tertunduk lesu. Lalu ia
menarik nafas dan melanjutkan kalimatnya. “Kalau kali ini kamu nggak akan
pernah kembali lagi.”
Tata menatap
Dimas tak percaya, tangisnya pecah. Kali ini karena keharuan. Dimas menarik tubuh
mungil itu dan memeluknya erat, berjanji untuk tidak melepaskannya lagi seperti
waktu dulu.
“Aku sayang
banget sama kamu, Dim. Aku janji, secepatnya aku akan kembali”, Tata menangis
tersedu dalam pelukan Dimas, akhirnya setelah sekian lama. Rindu itu terobati.
Dimas tak
melepaskan tangan Tata, sampai terdengar suara petugas bandara menyerukan
pesawat akan segera mengudara. Dimas memeluk Tata dan mencium keningnya,
“Cepatlah kembali, separuh jiwamu ada di sini.” Tata hanya mengangguk pelan dan
menahan tangis. “Bahkan jika ada pelangi yang lebih indah di luar sana, aku akan
tetap memilih mu sampai nafas terakhirku. Jaga dirimu dan juga hatimu hanya
untukku.” Balasnya.
Tubuh mungil itu
perlahan menjauh dan semakin jauh sampai tak terlihat lagi. Ini adalah
perpisahan paling membahagiakan dalam hidup Tata. Perpisahan termanis. Cintanya
telah kembali, separuh hatinya yang telah lama hilang. Bintang yang telah lama
meredup, kambali menampakkan sinarnya. Tunggu
aku, malaikatku. Kali ini kau tidak akan pernah ku lepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar