Minggu, 24 Maret 2013

Perpisahan Termanis



Kau bagai mentari ku,
saat dunia ku penuh dengan kegelapan
Kau menyinari diriku,
dari celah-celah pintu hidupku
Saat ku buka pintu itu,
cahayamu tidak hanya menyinari ruang hidupku
tapi juga menyinari jiwa ragaku
Lalu ku kejar cahaya itu
Dan ternyata itu adalah KAMU ..

Sudah hampir puluhan kali, ia membacanya. Selembar kertas usang berisikan rangkaian kalimat indah, tertulis begitu rapi dengan warna tinta yang hampir memudar. Benda itu mampu menariknya kembali pada masa lalu yang membuatnya selalu merasa bersalah. Peristiwa itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Bagaimana tidak, karenanya ia menjadi seperti ini sekarang dan melukai hati seseorang yang tulus mencintai dirinya. Kenapa baru sekarang aku menyesalinya? kenapa begitu mudah aku melepasmu dulu? dan kenapa harus ada dia? Sepanjang hidupnya hanya dipenuhi dengan penyesalan, penyesalan dan penyesalan.
Tata segera mengusap air matanya, ketika mendengar suara ketokan pintu dari luar kamarnya. “Siapa?“ ditunggunya jawaban dari balik pintu sebelum ia benar-benar membukanya. “Kiki nih, Ta“ Ia mengernyit, alasan apa yang membuat Kiki datang ke rumahnya selarut ini tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Biasanya Kiki selalu mengirim blackberry messanger, menelpon ataupun SMS jika ia akan datang. Untung saja, hari ini Tata sedang ingin tinggal di rumah dan tidur di kamar kesayangannya, biasanya ia lebih suka bersantai di kontrakan kecilnya.

Sejak masuk Universitas, Tata memutuskan untuk tinggal di kontrakan kecil dengan dua kamar di daerah Malang. Kalau ditanya alasannya, ia selalu menjawab biar dekat dengan kampus dan nggak habisin banyak ongkos. Tentu saja alasan ini tidak dapat diterima oleh Kiki, pasalnya dia satu-satunya orang yang mengerti kenapa Tata ingin memisahkan diri dari tempurung keluarganya.
“Kok lo tahu kalau gue lagi di rumah?” tanya Tata sembari membuka pintu kamarnya dan menyuruh Kiki masuk. “Tata, kalau sejam yang lalu lo nggak pasang status BBM lagi betah di rumah dan ingin berlama-lama mungkin sekarang gue udah mati bosan nungguin lo di depan kontrakan” seru Kiki yang sudah menghempaskan tubuhnya dikasur.
“Malam ini gue nginep di sini ya, Ta. Bokap sama nyokap mendadak ke Surabaya jenguk nenek gue”, Kiki menjelaskan perihal kedatangannya. “Nenek lo kenapa Ki? Sakit lagi ya?” tanya Tata kemudian. “Iya. Tadi sore tante gue telepon, katanya nenek masuk rumah sakit lagi. Tekanan darahnya naik dan harus dirawat”. Tata hanya diam dan tidak menanyakan apa-apa lagi pada sahabatnya itu, ia tahu benar kondisi keluarga Kiki yang sudah ia anggap seperti keluarga. Kiki yang tadinya sudah memejamkan mata, tiba-tiba saja bangun dari tidurnya. Memandang Tata lekat, melihat keanehan diraut wajah sahabatnya itu yang sedari tadi sudah ia rasakan.
“Lo habis nangis ya, Ta?”, alih-alih menjawab, orang yang ditanya malah tambah bengong. “Paramitha Diandra, gue lagi ngomong sama lo. Cepet sadar gih dari lamunan lo yang mungkin nyakitin itu”, sejurus kemudian Tata tersadar dari lamunannya dan menghampiri Kiki sambil menghamburkan bantal ke arahnya.
“Apaan sih, Ki!” Tata berusaha menyembunyikan kegundahannya, tapi mana mungkin. Kiki selalu tahu semua hal tentang dirinya. “Jangan coba-coba menyembunyikan apapun dari gue, karena lo nggak akan pernah bisa”, Kiki menatap Tata tajam, berharap sahabatnya itu tidak lupa bahwa dia tidak sendirian.
“Seminggu lagi gue akan diwisuda, itu artinya dalam waktu cepat gue akan tinggalin semua yang ada di sini” Tata merasakan wajahnya memanas, derai air mata yang tadi sempat ia tahan perlahan kembali menetes menyusuri pipinya yang lembut. Kiki memeluk erat sahabatnya itu, seolah mengerti semua yang menjadi beban hatinya, memahami sakit yang dirasakannya selama bertahun-tahun ini, terlebih dalam waktu singkat ia juga akan kehilangan sahabat terbaik yang pernah ia miliki.
“Gue ngerti Ta, lo harus kuat, lo harus sabar. Sebenarnya yang bikin lo berat buat pergi bukan gue ataupun nyokap sama bokap lo, tapi Dimas. Jangan lo pikir karena gue diam, berarti gue nggak tahu apa-apa. Gue tahu semuanya Ta, gue tahu”. Kiki mencoba menenangkan Tata, dalam hatinya ia berjanji akan membawa Dimas kembali padanya.
***
Matahari terik, tepat berada di ubun. Arloji yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12, ia berjalan seorang diri menyusuri trotoar. Tidak seperti tadi pagi, kali ini wajahnya terlihat sangat lelah dan langkahnya mulai melemah. Ujian demi ujian beberapa hari ini cukup menguras banyak tenaga, mau tidak mau ia harus terkonsentrasi penuh pada semua mata pelajaran pokok. Tiga bulan lagi ia akan menempuh Ujian Nasional dan melepas masa putih abu-abunya yang penuh kenangan, merancang masa depan dengan berbagai rintangan yang siap menghadang. Jalan setapak yang ia lewati terasa begitu panjang, padahal jaraknya untuk sampai di rumah hanya beberapa meter saja.
Tata merasakan getaran yang berasal dari sakunya, ia bermaksud untuk membiarkannya dan akan memeriksa kemudian setelah sampai di rumah. Namun getaran yang bersumber dari handphone-nya tidak berhenti, dengan enggan ia merogoh handphone dari sakunya dan mendapati nama Dimas terpampang di layarnya. Ketika ia hendak memencet tombol hijau, Dimas sudah memutuskan panggilannya. Tata memasukkan kembali handphonen-nya ke dalam saku dan mempercepat langkah untuk segera tiba di rumah, kemudian ia akan menghubungi kekasihnya itu.
“Halo, Dim? Ada apa?” Tata membuka percakapan ketika seseorang di sebarang sana mengangkat teleponnya.
“Kamu kemana aja sih Ta? Dari tadi aku telepon nggak diangkat? Kamu pulang sama siapa? Aku khawatir tahu nggak sama kamu?” suara Dimas terdengar cemas namun penuh emosi.
“Iya, iya. Maaf. Aku tadi lagi di jalan, handphone aku masih ke-silent jadi nggak tahu kalau kamu telepon”, Tata berusaha menghindari pertengkaran yang mungkin akan terjadi, ia terpaksa berbohong kepada Dimas.
Setelah beberapa menit, Dimas mengakhiri percakapan itu dan kemudian Tata menghempaskan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Matanya terpejam sambil memikirkan hubungannya dengan Dimas yang akhir-akhir ini mulai terlihat rapuh. Sudah setahun lalu mereka menjalin kasih, keduanya saling mencintai dan menjaga satu sama lain. Namun akhir-akhir ini Dimas menjadi terlalu over protectif, itu semua membuat Tata jenuh dan merasa terkekang. Di saat seperti ini harusnya kita saling mendukung, bukan malah saling membebani. Pikirnya dalam hati. Sesaat kemudian ia hanyut ke dalam pikirannya dan matanya mulai terlelap.
@@@

“Ta, kantin yuk!” ajak Kiki yang sudah berdiri di sebelahnya sambil memegangi perutnya yang sudah meronta. “Duluan deh, gue masih mau ngumpulin ini dulu ke Pak Sapto”, jawab Tata yang masih menyelesaikan tugasnya tanpa menoleh ke arah Kiki. “Gue tunggu di kantin ya”, seru Kiki kemudian sambil berlalu. Tata masih tetap menulis ketika Raka, teman sekelasnya, tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
“Belum selesai Ta?”, Tata yang tak menyadari kehadiran Raka langsung mendongok.
“Eh, elo Ka. Iya nih, tinggal satu nomor”, jawabnya yang langsung kembali memusatkan perhatian pada buku yang ada di hadapannya. Raka tetap berada di sana, sambil diam-diam memperhatikan wajah cantik Tata yang mempesona. Rambutnya yang panjang tergerai, bulu mata lentik dan kulitnya yang mulus. Cowok mana pun pasti akan terkagum-kagum melihatnya.
Raka. Sudah hampir sebulan ini mereka berdua menjadi dekat. Entah bagaimana awal hubungan kedekatan itu, semuanya mengalir begitu saja tanpa rencana. Tata merasa nyaman berteman dengannya, mereka berdua memiliki banyak kesamaan, dari genre musik yang mereka suka, film-film action maupun buku-buku karya penulis terkenal. Raka selalu bisa membuatnya tersenyum, menghibur dia di saat seperti apapun dan mampu mendamaikan hatinya. Bersama Raka, dia bebas melakukan banyak hal dan entah sejak kapan, rasa itu mulai tumbuh dengan sendirinya.
@@@
“Gue putus sama Dimas!”
“Lo serius? Kenapa? Dimas itu sayang banget sama lo, Ta.”
“Ki, lo tahu sendiri kan akhir-akhir ini gue sering banget berantem sama Dimas. Gue capek Ki, capek!”
“Apa udah nggak bisa diomongin lagi?”, yang ditanya hanya diam. “Jadi akhirnya lo lebih memilih Raka?” Tata mengalihkan pandangannya.
“Ta, gue tahu lo udah dewasa. Apapun keputusan yang lo ambil, pasti lo udah mikirin semuanya baik-baik. Sebagai sahabat lo, gue hanya berharap yang terbaik buat lo dan Dimas. Satu lagi, semoga pilihan lo kali ini nggak salah dan nggak akan buat lo nyesel nantinya”, Kiki menepuk pelan pundak Tata dan tersenyum tipis, kemudian ia berlalu meninggalkan Tata. Sendirian.
@@@

“Ki!”, cowok itu mempercepat jalannya dan segera menghampiri Kiki yang tengah asik melahap makanannnya. Meskipun tak menoleh ke arah sumber suara, Kiki sudah hafal suara itu. Di sekolah ini, satu-satunya cowok yang memiliki suara yang khas, serak-serak basah, seperti itu hanyalah Dimas. Ia kemudian mendongokkan kepalanya ke arah Dimas dan memperhatikan wajahnya yang terlihat sangat muram. Kasihan lo Dim, ketulusan lo harus dibayar dengan cara seperti ini. Pikirnya dalam hati. “Lo nggak makan?”, tanya Kiki memecah keheningan. “Nggak laper gue”, jawabnya tanpa basa-basi.
Tiba-tiba saja, Dimas merasa geram dan kesal. Kiki membalikkan badan dan ikut menoleh ke arah yang Dimas tuju. Benar saja, ia melihat Tata dan Raka berjalan bersama saling menautkan jemari mereka.
“Jadi itu alasannya?” Dimas mulai emosi.
“Gue nggak nyangka, ternyata segampang ini gue dibodohin sama cewek!” Ia kemudian pergi meninggalkan Kiki yang masih shock dengan peristiwa beberapa menit yang lalu. Kiki menoleh lagi ke arah dua pasangan baru itu, ketika matanya dan mata Tata bertemu ia hanya menggelengkan kepala dan kemudian pergi mengikuti Dimas yang sedang diselimuti kekecewaan. Ia tak menyangka dan tentunya merasa kecewa juga dengan apa yang sudah Kiki lakukan di hadapan orang yang sangat mencintai dirinya, lebih dari apapun.
@@@

Tata sedang berjalan-jalan ke Toko Buku langganannya, ketika ia kemudian melihat motor Raka terparkir di area alun-alun Kota Batu. Matanya kemudian mencari-cari sosok yang sangat ia rindukan, karena sudah hampir seminggu ini mereka tidak bertemu. Ujian Nasional dua minggu yang lalu cukup menyibukkan mereka.
Senyum Tata langsung mengembang ketika ia menemukan sosok yang ia cari sedari tadi, ia cukup hafal dengan perawakannya meski Raka membelakanginya sekarang. Cepat-cepat ia berjalan menuju ke arah Raka. Namun ketika jarak antara mereka hanya dipisahkan beberapa meter saja, langkah Tata langsung terhenti. Ia menemukan Raka sedang bermesraan dengan cewek yang entah siapa dia, tangan mereka saling bertautan, persis seperti apa yang biasa ia lakukan. PLAAKK!!
“Ta, aku bisa jelesin ini”, Raka berusaha memegang tangan Tata dan memeluknya, namun Tata menepisnya dan mendorong jauh-jauh tubuh Raka dari hadapannya.
“Kita PUTUS!” Tata berlalu pergi tanpa menghiraukan Raka yang memanggil-manggil namanya, hatinya sakit namun air matanya tak menetes. Beginikah rasanya, dikhianati orang yang sangat kita cintai? Karmakah ini? Kejadian itu terus berputar-putar dalam ingatannya, seolah ia tak mau berhenti dan mengejek kebodohannya karena telah memilih orang yang salah. Sesaat terlintas wajah Dimas dalam benaknya dan ia mulai menangis tersedu, menyesali semuanya.
@@@
“Di...Dimas”, suara Tata bergetar.
Dimas menoleh, tatapan matanya berubah sinis ketika ia tahu siapa yang memanggilnya. “Ada apa?”, jawabnya dingin. “Ma..maafin..gue ya, Dim, gu..e”, belum tuntas apa yang akan ia katakan, Dimas memotong kalimatnya dan berlalu. “Nggak ada yang perlu dimaafin, gue malah mau berterima kasih sama lo karena udah sadarin gue dari mimpi yang fana”, Tata tertegun dan ia hanya bisa pasrah, menerima perlakuan Dimas yang memang pantas ia dapatkan.
“Cuma waktu Ta, dia cuma butuh waktu. Sekarang ini cinta kalian sedang diuji. Suatu saat nanti, gue percaya cinta kalian akan kembali menyatu. Karena dari awal, Dimas adalah pelabuhan terakhir dalam pelayaran lo”, Tata tersenyum dan memeluk erat Kiki yang berada di sampingnya. “Lo emang sahabat terbaik gue Ki, thanks ya.”
***
Tata mendorong koper miliknya diiringi dengan langkah yang berat. Tepat hari ini, ia akan meninggalkan semua kenangan yang sudah terukir dengan indah. Meski hanya untuk sementara, ia pasti akan sangat merindukan tanah kelahirannya, merindukan papa, mama, kakak dan juga sahabatnya.
Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Pikirannya melayang jauh, menyusuri setiap kenangan yang tercipta bersama Dimas. Cowok itu, mungkin sekarang dia sudah menjadi pria dewasa yang tampan. Menjalani kehidupan yang normal, menjadi lulusan arsitek seperti yang dia impikan. Tata ingat, dulu Dimas sering sekali memperlihatkan padanya hasil-hasil sketsa yang ia buat. Menghabiskan waktu berdua, meski hanya sekedar membicarakan hobi dan cita-cita masing-masing. Tapi entah mengapa, Tata sangat merindukan hari-hari itu.
Dimas juga pernah membuat sketsa rumah yang sangat ia impikan, “Rumah ini kelak akan lebih indah dan terasa hangat. Karena di dalamnya akan ada aku, kamu dan juga anak-anak kita.” Tata bahagia setiap kali Dimas mengucapkan kalimat itu. Namun kini semua telah berbeda, ia merasa telah menghancurkan satu lagi mimpi besarnya. Tidak, bukan hanya satu tapi ia telah menghancurkan semuanya.
“Ta, kalau sudah sampai jangan lupa telepon rumah ya. Jaga diri kamu, kejar cita-cita kamu nak. Kami akan sangat merindukanmu”, air mata Tata mengalir tanpa dipandu, ia langsung memeluk kedua orangtuanya itu dengan hangat.
“Ta, ikut gue sebentar yuk.” Tanpa menunggu jawaban, Kiki langsung menarik tangan Tata dan membawanya sedikit menjauh. Tata pun hanya bisa pasrah.
Sesaat kemudian langkahnya terhenti, ia melepaskan tangannya dari genggaman Kiki. Tata ingin berlari, entah untuk memeluknya atau malah berlari untuk meninggalkannya lagi. Dimas ada di sana, di ruang yang sama, di hadapannya. “Sebelum lo pergi, jemput cinta lo yang lama hilang. Dia di sana Ta, menunggu lo kembali.” Kiki berbisik lirih dan memeluk Tata yang masih termangu kemudian memberikan ruang pada mereka untuk menumpahkan segalanya.
“Mau ke mana?” Dimas terlihat canggung. “Paris, seperti yang pernah gue bilang sama lo.” Tata tak kalah canggungnya dengan Dimas. “Akhirnya mimpi lo buat sekolah di Paris dan menjadi designer hebat tercapai juga Ta, selamat ya”, Dimas bingung harus berkata apa lagi. Ingin rasanya ia menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, mendekapnya hangat dan dalam, namun ia tak kuasa.
“Dim...maaf...” persis seperti beberapa tahun yang lalu, lagi-lagi Dimas memotong kalimat Tata.
“Aku nggak akan maafin kamu, Ta”, sesaat Dimas terdiam, melihat Tata yang tertunduk lesu. Lalu ia menarik nafas dan melanjutkan kalimatnya. “Kalau kali ini kamu nggak akan pernah kembali lagi.”
Tata menatap Dimas tak percaya, tangisnya pecah. Kali ini karena keharuan. Dimas menarik tubuh mungil itu dan memeluknya erat, berjanji untuk tidak melepaskannya lagi seperti waktu dulu.
“Aku sayang banget sama kamu, Dim. Aku janji, secepatnya aku akan kembali”, Tata menangis tersedu dalam pelukan Dimas, akhirnya setelah sekian lama. Rindu itu terobati.
Dimas tak melepaskan tangan Tata, sampai terdengar suara petugas bandara menyerukan pesawat akan segera mengudara. Dimas memeluk Tata dan mencium keningnya, “Cepatlah kembali, separuh jiwamu ada di sini.” Tata hanya mengangguk pelan dan menahan tangis. “Bahkan jika ada pelangi yang lebih indah di luar sana, aku akan tetap memilih mu sampai nafas terakhirku. Jaga dirimu dan juga hatimu hanya untukku.” Balasnya.
Tubuh mungil itu perlahan menjauh dan semakin jauh sampai tak terlihat lagi. Ini adalah perpisahan paling membahagiakan dalam hidup Tata. Perpisahan termanis. Cintanya telah kembali, separuh hatinya yang telah lama hilang. Bintang yang telah lama meredup, kambali menampakkan sinarnya. Tunggu aku, malaikatku. Kali ini kau tidak akan pernah ku lepaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar